Oleh: Sri Suhandjati Sukri
PENUTURAN sejarah
selama ini banyak yang berdimensi androsentris, yakni mengutamakan peran
laki-laki sebagai pelaku sejarah. Perempuan masih sedikit yang ditampilkan di
pangggung sejarah, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional.
Hal ini tidak lepas dari kerangka berpikir yang menempatkan laki-laki sebagai
pemeran utama di wilayah publik, di mana prestasi dan prestise dapat diukir.
Perempuan
diposisikan sebagai peran pembantu di wilayah publik. Karena itu, sedikit
sekali yang terekam dalam penuturan sejarah, meskipun dalam realitas ada
perempuan yang memegang peranan penting dalam berbagai peristiwa bersejarah.
Penuturan
sejarah yang melupakan peran perempuan itu telah direkonstruksi oleh Islam
melalui sejarah androgynous yang menampilkan peran perempuan dan
laki-laki dalam penuturan sejarah umat manusia. Melalui Alquran dan ritual
keagamaan seperti dalam ibadah haji, Allah memberikan contoh tentang metode
penuturan sejarah androgynous sebagai bukti adanya prinsip kesetaraan
perempuan dan laki-laki dalam Islam.
Kisah-kisah
umat terdahulu banyak dikemukakan dalam Alquran. Peristiwa penting yang terkait
dengan beberapa segi kehidupan manusia itu disampaikan Allah agar diambil
hikmahnya. Kisah mengandung keteladanan agar diikuti atau dijadikan pedoman,
sedangkan kisah yang jelek dijadikan peringatan untuk dihindari. Manfaat
penuturan sejarah bagi manusia itu diterangkan Allah dalam Surat Yusuf 111,
" Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal."
Berinovasi
Manusia
diberi kekuatan untuk mewujudkan tujuan hidupnya, sedangkan Allah telah
memberikan pula contoh teladan agar manusia mempunyai model yang mudah diikuti
atau dijadikan bahan rujukan untuk menyusun langkah kehidupannya, yakni
kisah-kisah dalam Alquran.
Perintah
mengambil pelajaran dari sejarah itu telah diikuti oleh pemeluk Islam. Di
antaranya para khalifah dari daulah Abbasiyah seperti Harun Al Rasyid yang
sering menghadirkan ahli sejarah di istana. Mereka diminta menuturkan sejarah
bangsa-bangsa yang telah maju peradabannya, seperti Persia dan Romawi. Dari
sejarah itu, khalifah mendapatkan bahan untuk menyusun sistem pemerintahan yang
lebih teratur, untuk mendatangkan kemajuan di berbagai bidang.
Hikmah
mempelajari sejarah tidak berhenti pada tahap meniru. Sebab umat Islam juga
terdorong untuk membuat inovasi dan eksperimen yang melahirkan
penemuan-penemuan baru. Masa Abbasiyah tercatat dalam sejarah sebagai era
kejayaan peradaban Islam masa klasik.
Untuk
memperbaiki struktur masyarakat yang pincang, Allah memperlihatkan realitas
sejarah tentang kesetaraan perempuan dan laki laki, antara lain melalui kisah
Puteri Balqis. Hikmah dari kisah ratu yang memerintah di Kerajaan Sabaiyah masa
Nabi Sulaiman ini antara lain : Pertama, menunjukkan bahwa perempuan
berkemampuan sama dengan laki-laki dalam penanganan persoalan publik, seperti
memimpin negara. Ratu Balqis diakui mampu memerintah kerajaan besar dan
berhasil memakmurkan rakyatnya (QS An Naml:23)
Kedua,
pemerintahan yang dilandasi keimanan kepada Allah akan membawa perbaikan mental
spiritual yang sangat dibutuhkan agar kemakmuran rakyat tercapai. Pemimpin yang
sejati tidak sekadar menjadi birokrat, tetapi juga pemimpin rakyat yang
berkeimanan kuat dan berakhlak terpuji, sebagaimana dilakukan Ratu Balqis.
Dia
memerintah secara demokratis. Dia pun menempatkan para pembantunya pada posisi
penting dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan rakyat,
meskipun dia sesungguhnya mampu dan berwewenang memutuskannya sendiri (QS An
Naml :32).
Manfaat lain
yang dapat diambil dari kisah Ratu Balqis ini adalah pengajaran metode
penulisan sejarah androgynous yang memaparkan peranan penting perempuan
(Ratu Balqis) dalam sejarah kerajaan besar , di samping penampilan peran laki
laki (Nabi Sulaiman).
Penulisan
sejarah androgynous yang dicontohkan dalam Alquran ini telah diikuti
oleh sejarawan Muslim masa klasik. Karena itu, peran para perempuan muslimah
pada masa Rasulullah berhasil diketahui pada masa sekarang.
Di
antaranya, peran Aisyah di bidang politik dan ilmu pengetahuan/periwayatan
hadis. Namun penulisan sejarah yang menampilkan perempuan yang berprestasi dan
memiliki peranan penting dalam sejarah umat manusia itu, semakin dilupakan
orang.
Generasi
penerus sering kesulitan menemukan sumber sejarah untuk mengetahui peranan kaum
perempuan dalam berbagai segi kehidupan. Hal ini mengakibatkan semakin kuatnya
persepsi bias gender yang menempatkan posisi perempuan di wilayah domestik.
Untuk
mengembalikan adanya penulisan sejarah androgynous itu, Fatimah Mernisi
mengangkat sejarah dari para muslimah yang pernah memerintah di berbagai
negeri/kerajaan, dalam bukunya Ratu Ratu Islam Yang Terlupakan.
Adrogynous
dalam Ritual
Di samping
melalui Alquran, Allah mengukir sejarah peran perempuan di bidang agama dan
kemanusiaan melalui kisah Siti Hajar yang sampai sekarang diabadikan dalam
ibadah haji /sai. Siapa pun yang beribadah haji akan mengingat sejarah
perjuangan seorang Ibu yang tanpa mengenal lelah dan putus asa, berusaha
mencari air untuk putranya yang kehausan.
Karena
berhari-hari berada di padang tandus, Siti Hajar kurang makan dan minum,
akibatnya produksi ASI-nya berkurang. Karena itu, dia tidak dapat memberikan
minuman bagi Ismail yang masih bayi. Untuk menyelamatkan anaknya, Hajar
berusaha mendapatkan air. Dia berlari lari naik turun bukit Shafa hingga Marwa.
Meski demikian, tak setetes air pun yang dia peroleh.
Dari kisah
Siti Hajar yang tidak mengenal lelah dan takut dalam mencari air ini, dapat
diambil beberapa pelajaran. Di antaranya, perempuan bukan mahluk yang lemah
sebagaimana label yang selama ini dilekatkan kepadanya. Kemandirian berpikir
dan pengambilan keputusan dalam kondisi darurat yang tergambar pada kisah Hajar
menunjukkan, perempuan mampu bertindak cepat tanpa menggantungkan bantuan
kepada siapa pun, kecuali mengharap pertolongan Allah semata.
Keberanian
menghadapi tantangan, kemandirian bertindak, dan pengambilan keputusan itu
sering dipersepsikan sebagai karakter maskulin yang hanya dimiliki oleh laki
laki. Karena maskulinitasnya ini, laki laki dipandang mampu melakukan
tugas-tugas publik yang banyak tantangan. Namun dari kisah Siti Hajar ini dapat
dipetik hikmah, maskulinitas tidak hanya dimiliki laki laki, tetapi juga
perempuan. Karena itu, perempuan pada dasarnya juga berkemampuan sama dengan
laki laki, termasuk untuk berperan di wilayah publik.
Ini telah
diperkuat dengan realitas sejarah Ratu Balqis, sebagaimana yang dituturkan
dalam Alquran. Kisah Siti Hajar yang terpateri dalam sejarah perjuangan Nabi
Ibrahim merupakan bagian lain dari penuturan sejarah androgynous yang
mengajarkan tentang pentingnya kejujuran untuk mengungkap realitas sejarah,
menyangkut peran perempuan dan laki laki.
Tampilnya
perempuan di wilayah publik untuk menjalankan misi kalifatulah, yakni
menciptakan kedamaian dan kemakmuran di muka bumi. Sudah seharusnya perempuan
dan laki laki bekerja sama dan tolong-menolong dalam pelaksanaan tugas
tersebut, sebagaimana pernah terukir dalam sejarah.
Secara jujur
perlu diakui, kesuksesan seorang laki laki tidak dapat dipisahkan dari peran
perempuan. Namun selama ini, perempuan hanya dipandang sebagai peran pembantu
yang tidak berarti penting dalam perjalanan sejarah individu dan masyarakat.
Karena itu, penulisan sejarah androsentris yang hanya menampilkan peran kaum
laki laki, perlu digeser kepada penulisan sejarah androgynous yang
mengangkat peran laki laki dan perempuan secara proporsional. (18i)
(Dr Sri Suhandjati Sukri Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Tengah)
0 komentar:
Posting Komentar