Sabtu, 13 Juli 2013

Sa'i dan Sejarah Androgynous

Oleh: Sri Suhandjati Sukri

PENUTURAN sejarah selama ini banyak yang berdimensi androsentris, yakni mengutamakan peran laki-laki sebagai pelaku sejarah. Perempuan masih sedikit yang ditampilkan di pangggung sejarah, baik di tingkat regional, nasional, maupun internasional. Hal ini tidak lepas dari kerangka berpikir yang menempatkan laki-laki sebagai pemeran utama di wilayah publik, di mana prestasi dan prestise dapat diukir.
Perempuan diposisikan sebagai peran pembantu di wilayah publik. Karena itu, sedikit sekali yang terekam dalam penuturan sejarah, meskipun dalam realitas ada perempuan yang memegang peranan penting dalam berbagai peristiwa bersejarah.
Penuturan sejarah yang melupakan peran perempuan itu telah direkonstruksi oleh Islam melalui sejarah androgynous yang menampilkan peran perempuan dan laki-laki dalam penuturan sejarah umat manusia. Melalui Alquran dan ritual keagamaan seperti dalam ibadah haji, Allah memberikan contoh tentang metode penuturan sejarah androgynous sebagai bukti adanya prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam Islam.
Kisah-kisah umat terdahulu banyak dikemukakan dalam Alquran. Peristiwa penting yang terkait dengan beberapa segi kehidupan manusia itu disampaikan Allah agar diambil hikmahnya. Kisah mengandung keteladanan agar diikuti atau dijadikan pedoman, sedangkan kisah yang jelek dijadikan peringatan untuk dihindari. Manfaat penuturan sejarah bagi manusia itu diterangkan Allah dalam Surat Yusuf 111, " Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal."
Berinovasi
Manusia diberi kekuatan untuk mewujudkan tujuan hidupnya, sedangkan Allah telah memberikan pula contoh teladan agar manusia mempunyai model yang mudah diikuti atau dijadikan bahan rujukan untuk menyusun langkah kehidupannya, yakni kisah-kisah dalam Alquran.
Perintah mengambil pelajaran dari sejarah itu telah diikuti oleh pemeluk Islam. Di antaranya para khalifah dari daulah Abbasiyah seperti Harun Al Rasyid yang sering menghadirkan ahli sejarah di istana. Mereka diminta menuturkan sejarah bangsa-bangsa yang telah maju peradabannya, seperti Persia dan Romawi. Dari sejarah itu, khalifah mendapatkan bahan untuk menyusun sistem pemerintahan yang lebih teratur, untuk mendatangkan kemajuan di berbagai bidang.
Hikmah mempelajari sejarah tidak berhenti pada tahap meniru. Sebab umat Islam juga terdorong untuk membuat inovasi dan eksperimen yang melahirkan penemuan-penemuan baru. Masa Abbasiyah tercatat dalam sejarah sebagai era kejayaan peradaban Islam masa klasik.
Untuk memperbaiki struktur masyarakat yang pincang, Allah memperlihatkan realitas sejarah tentang kesetaraan perempuan dan laki laki, antara lain melalui kisah Puteri Balqis. Hikmah dari kisah ratu yang memerintah di Kerajaan Sabaiyah masa Nabi Sulaiman ini antara lain : Pertama, menunjukkan bahwa perempuan berkemampuan sama dengan laki-laki dalam penanganan persoalan publik, seperti memimpin negara. Ratu Balqis diakui mampu memerintah kerajaan besar dan berhasil memakmurkan rakyatnya (QS An Naml:23)
Kedua, pemerintahan yang dilandasi keimanan kepada Allah akan membawa perbaikan mental spiritual yang sangat dibutuhkan agar kemakmuran rakyat tercapai. Pemimpin yang sejati tidak sekadar menjadi birokrat, tetapi juga pemimpin rakyat yang berkeimanan kuat dan berakhlak terpuji, sebagaimana dilakukan Ratu Balqis.
Dia memerintah secara demokratis. Dia pun menempatkan para pembantunya pada posisi penting dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan rakyat, meskipun dia sesungguhnya mampu dan berwewenang memutuskannya sendiri (QS An Naml :32).
Manfaat lain yang dapat diambil dari kisah Ratu Balqis ini adalah pengajaran metode penulisan sejarah androgynous yang memaparkan peranan penting perempuan (Ratu Balqis) dalam sejarah kerajaan besar , di samping penampilan peran laki laki (Nabi Sulaiman).
Penulisan sejarah androgynous yang dicontohkan dalam Alquran ini telah diikuti oleh sejarawan Muslim masa klasik. Karena itu, peran para perempuan muslimah pada masa Rasulullah berhasil diketahui pada masa sekarang.
Di antaranya, peran Aisyah di bidang politik dan ilmu pengetahuan/periwayatan hadis. Namun penulisan sejarah yang menampilkan perempuan yang berprestasi dan memiliki peranan penting dalam sejarah umat manusia itu, semakin dilupakan orang.
Generasi penerus sering kesulitan menemukan sumber sejarah untuk mengetahui peranan kaum perempuan dalam berbagai segi kehidupan. Hal ini mengakibatkan semakin kuatnya persepsi bias gender yang menempatkan posisi perempuan di wilayah domestik.
Untuk mengembalikan adanya penulisan sejarah androgynous itu, Fatimah Mernisi mengangkat sejarah dari para muslimah yang pernah memerintah di berbagai negeri/kerajaan, dalam bukunya Ratu Ratu Islam Yang Terlupakan.
Adrogynous dalam Ritual
Di samping melalui Alquran, Allah mengukir sejarah peran perempuan di bidang agama dan kemanusiaan melalui kisah Siti Hajar yang sampai sekarang diabadikan dalam ibadah haji /sai. Siapa pun yang beribadah haji akan mengingat sejarah perjuangan seorang Ibu yang tanpa mengenal lelah dan putus asa, berusaha mencari air untuk putranya yang kehausan.
Karena berhari-hari berada di padang tandus, Siti Hajar kurang makan dan minum, akibatnya produksi ASI-nya berkurang. Karena itu, dia tidak dapat memberikan minuman bagi Ismail yang masih bayi. Untuk menyelamatkan anaknya, Hajar berusaha mendapatkan air. Dia berlari lari naik turun bukit Shafa hingga Marwa. Meski demikian, tak setetes air pun yang dia peroleh.
Dari kisah Siti Hajar yang tidak mengenal lelah dan takut dalam mencari air ini, dapat diambil beberapa pelajaran. Di antaranya, perempuan bukan mahluk yang lemah sebagaimana label yang selama ini dilekatkan kepadanya. Kemandirian berpikir dan pengambilan keputusan dalam kondisi darurat yang tergambar pada kisah Hajar menunjukkan, perempuan mampu bertindak cepat tanpa menggantungkan bantuan kepada siapa pun, kecuali mengharap pertolongan Allah semata.
Keberanian menghadapi tantangan, kemandirian bertindak, dan pengambilan keputusan itu sering dipersepsikan sebagai karakter maskulin yang hanya dimiliki oleh laki laki. Karena maskulinitasnya ini, laki laki dipandang mampu melakukan tugas-tugas publik yang banyak tantangan. Namun dari kisah Siti Hajar ini dapat dipetik hikmah, maskulinitas tidak hanya dimiliki laki laki, tetapi juga perempuan. Karena itu, perempuan pada dasarnya juga berkemampuan sama dengan laki laki, termasuk untuk berperan di wilayah publik.
Ini telah diperkuat dengan realitas sejarah Ratu Balqis, sebagaimana yang dituturkan dalam Alquran. Kisah Siti Hajar yang terpateri dalam sejarah perjuangan Nabi Ibrahim merupakan bagian lain dari penuturan sejarah androgynous yang mengajarkan tentang pentingnya kejujuran untuk mengungkap realitas sejarah, menyangkut peran perempuan dan laki laki.
Tampilnya perempuan di wilayah publik untuk menjalankan misi kalifatulah, yakni menciptakan kedamaian dan kemakmuran di muka bumi. Sudah seharusnya perempuan dan laki laki bekerja sama dan tolong-menolong dalam pelaksanaan tugas tersebut, sebagaimana pernah terukir dalam sejarah.
Secara jujur perlu diakui, kesuksesan seorang laki laki tidak dapat dipisahkan dari peran perempuan. Namun selama ini, perempuan hanya dipandang sebagai peran pembantu yang tidak berarti penting dalam perjalanan sejarah individu dan masyarakat. Karena itu, penulisan sejarah androsentris yang hanya menampilkan peran kaum laki laki, perlu digeser kepada penulisan sejarah androgynous yang mengangkat peran laki laki dan perempuan secara proporsional. (18i)

(Dr Sri Suhandjati Sukri Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Tengah)

0 komentar:

Posting Komentar