Jumat, 12 Juli 2013

ESSENSI AJARAN ISLAM TENTANG KEMASYARAKATAN

Oleh: hendriycole

Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Ajaran Islam atau lebih khusus syari’at Islam, mempunyai titik singgung yang sangat kompleks dengan masalah-masalah social. Karena, syari’at Islam itu sendiri justru mengatur hubungan antara manusia (individual maupun kelompok) dengan Allah swt, antara sesama manusia dengan alam lingkungannya.
Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah (baik individual maupun social). Ineteraksi kedua terumuskan dalam bentuk muamalah dan mu’asyarah. Prinsip muamalah dalam Islam, tidak menitikberatkan pada penguasaan mutlak bagi kelompok atas pemilikan alam, sehingga meniadakan penguasaan individual, sebagaimana paham sosialisme. Ia juga tidak menitikberatkan pengauasaan bagi individu secara mutlak yang cenderung pada sikap monopoli tanpa memiliki concern (kepedulian) terhadap yang lain, sebagaimana dalam kapitalisme.
Akan tetapi, Islam menghargai hak penguasaan individual yang diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab kelompok. Pembuktian prinsip ini bisa dilihat pada berbagai hal, antara lain berlakunya hukum waris, zakat, nafkah, larangan judi, larangan menimbun barang kebutuhan pokok sehari-hari, dan lain-lain.
Sedangkan prinsip mu’asyarah dalam Islam dapat dilihat dalam berbagai dimensi kepentingan dan struktur social. Dalam kepentingan kemasyarakatan umum, kaum  muslimin dituntut oleh ajaran Islam sendiri agar bekerjasama dengan penuh tasamuh (toleransi) dengan pihak-pihak diluar Islam. Sedangkan antara kaum muslimin sendiri, Islam telah mengatur hubungan interaksinya dalam kerangka ukhuwah Islamiyah bagi segala bentuk sikap dan perilaku kegiatan sehari-hari.
Dari sisi struktur social yang menyangkut stratifikasi social, bisa dilihat bagaimana ajaran Islam mengatur interaksinya, misalnya, hubungan lingkar balik antara ulama, umara aghniya’, dan kelompom fuqara’. Pendek kata, dalam Islam terdapat aturan terinci mengenai mu’asyarah antara berbagai kelompok social dengan berbagai status masing-masing.[1]
            Pandangan yang telah umum ini digambarkan secara lengkap dalam pemikiran Ikhwan Al-Shafa. Menurut kelompok ikhwan, stratifikasi social itu telah ditentukan oleh Tuhan. Mereka berpandangan bahwa alam ini memang sengaja hierarkis. Mereka juga menerima begitu saja kategori khashsh dan ‘amm serta tingkatan yang begitu banyak. Mereka mengganggap bahwa salah satu karakteristik kenabian adalah untuk menegakan hukum bagi kaum elit, masyarakat umum, dan seluruh tingkatan masyarakat yang berada diantara keduanya. Para penguasa yang merupakan pengganti dan wakil para nabi, bertanggung jawab untuk menegakan aturan dan hierarki yang diberlakukan oleh para pendahulunya. Tugas merekalah untuk membagi rakyatnya menjadi beberapa kategori, strata, tataran, dan peringkat sehingga setap individu ditempatkan ke dalam keompok yang sesuai, sebagaimana halnya setiap bilangan memiliki tempat yang tidak dapat diubah dalam sebuah aturan yang tetap.[2]
            Tuhan, secara absolute telah menyampaikan pesan suci-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat (49):
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa”.[3]
Dalam artinya yang sederhana penulis berpendapat, manusia secara “sacral” adalah sebagai makhluk individu, tetapi dari aspek “profane”, manusia merupakan makhluk social. Yang keduanya mempunyai korelasi yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, masing-masing dari kedua aspek tersebut mempunyai konsekuensi logis.

Arti Penting Keadilan dan Masyarakat
Pada hari kiamat nanti ada tujuh manusia yang akan mendapat perlindungan Allah, dimana pada hari itu tidak ada perlindungan lain , kecuali perlindungan Allah. Tujuh jenis manusia itu adalah imam yang adil pemuda yang rajin beribadah, orang yang selalu ingin datang ke masijd, dua orang yang akrab bergaul di mana motivasi mereka hanyalah untuk memperoleh ridha Allah, orang yang berdzikir kepada Allah, pada saat yang sunyi sampai air matanya membasahi pipinya, lelaki yang diajak kencan (berselingkuh) oleh seorang wanita yang cantik lagi popular tetapi ia tidak mau karena takut kepada Allah, dan orang yang bersedekah dengan merahasiakan sedekahnya sampai apa yang diberikan oleh tangan kanannya tidak diketahui oleh tangan kirinya.[4]
            Barangkali, tujuh jenis manusia itu termasuk makhluk langka atau sulit ditemukan, apalagi untuk masa-masa sekarang ini. Diantara tujuh manusia itu adalah imam atau penguasa yang adil, yang dalam istilah agama sering juga disebut amir, hakim, wali, sulthan, dan lain-lain. Dalam bahasa kita sehari-hari hal itu lazim disebut penguasa, pemimpin kepala Negara, raja atau presiden. Maka untuk mengenali mana seorang penguasa dapat disebut sebagai imam yang adil, perlu kiranya dikenali lebih dahulu tanda-tanda atau kriterianya sehingga dapat diketahui potret penguasa yang adil secara lengkap. Criteria tersebut adalah: menerapkan hukum Allah, berpihak pada kaum lemah, zuhud dalam masalah dunia, pelayan masyarakat, demi kepentingan ummat, dan lain sebagainya.
            Agama dapat dilihat dalam dua kategori. Pertama, sebagai keimanan, di mana orang percaya terhadap kehidupan kekal dikemudian hari, lalu orang mengabdikan dirinya untuk kepercayaannya itu. Di sini agama dilihat sebagai masalah teologi. Kedua, dalam terminology ilmu social, agama dilihat sebagai nilai-nilai yang mempengaruhi perilaku manusia. Dalam hal ini, dia bisa disamakan dengan kebudayaan.
            Dari sudut ilmu social agama memang dipandang sebagai salah satu lembaga yang paling kuat untuk mempengaruhi perilaku masyarakat kita, sama halnya, misalnya, dengan nilai-nilai budaya Jawa. Di Indonesia peran agama masih sangat penting. Dengan demikian, pengaruh pemimpin-pemimpin agama untuk menentukan arah tingkah laku manusia pun penting.[5]
Pemahaman mengenai fungsi agama tidak dapat dilepas dari tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dan masyarakatnya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan analitis dapat disimmpulkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dikembalikan pada tiga hal: ketidak pastian, ketidak mampuan, dan kelangkaan. Untuk mengatasi itu semua manusia lari pada agama, karena manusia percaya dengan keyakinan yang kuat bahwa agama memiliki kesanggupan yang definitive dalam menolong manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan suatu fungsi tertentu kepada agama.
Fungsi edukatif, manusia mempercayakan fungsi edukatif kepada agama yang mencakup tugas mengajar dan tugas bimbingan. Lain dari instansi (institusi profane) agama dianggap sanggup memberikan pengajaran yang otoritatif; bahkan dalam hal-hal yang “sacral” tidak dapat salah. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantaraan petugas-petugasnya baik didalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi), pendalaman rohani, dll. Fungsi penyelamatan, tanpa atau dengan penelitian ilmiah, cukup berdasarkan pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan  bahwa setiap manusia menginginkan keselamatannya baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Usaha untuk mencapai cita-cita tertinggi (instink) itu tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Jaminan untuk itu mereka temukan dalam agama. Terutama karena agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk mencapai kebahagiaan yang “terakhir”, yang pencapaiannya mengatasi kemampuan manusia secara mutlak, karena kebahagiaan itu berada diluar batas kekuatan manusia (breaking points). Orang berpendapat bahwa hanya manusia agama (homo religious) dapat mencapai titik itu, entah itu manusia yang hidup dalam masyarakat primitive, entah dalam masyarakat modern.[6]
            Dalam abad sekuler ini banyak pemeluk agama diliputi rasa cemas mendengar pernyataan-pernyataan seperti “matinya tuhan Allah”, dan “Agama akan punah”, atau “agama akan masuk museum”. Lalu akan lahir suatu amsyarakat sekuler yang bersih dari segala unsur keagamaan. Ramalan senada diucapkan oleh Comte. Bapak dari sosiologi modern ini melihat agama, dengan sudut pandang yang baru yakni positivisme, sebagai konstruksi pemikiran manusia mengenai perlunya menghubungkan dunia yang mengatasi alam dengan dunia empiris ini untuk memuaskan kebutuhan manusia yang hidup dalam tahap pemikiran tertentu (tahap teologis). Tetapi hukum pemikiran itu sendiri yang berjalan dalam tiga tahap (tahap telogis, metafisik, dan posistif) akan membawa agama ke dalam suatu zaman (tahap positivisme) di mana manusia secara radikal tidak membutuhkannya lagi. Dalam situasi demikian itu agama akan lenyap dari masyarakat. Comte sendiri telah mulai merealisasikan gagasannya itu dengan mengganti kebaktian kepada Tuhan dengan pengabdian kepada masyarakat.[7]
           

Kepemimpinan Untuk Menegakan Keadilan
Dunia ini selalu diubah hanya oleh pemimpin,
tidak pernah oleh ketua, manajer, apalagi oleh kepala
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya manusia. Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Di sisi lain manusia ingin hidup secara tentram, tertib, damai, dan berkeadilan. Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Upaya-upaya manusia untuk menyedikitkan kejahatan telah dilakukan, baik yang bersifat preventif maupun represif.[8]
Dalam islam pemimpin mempunyai beberapa istilah seperti imam dan khalifah. Khalifah memiliki kedudukan tertinggi dalam Negara Islam. Ia merupakan wakil rakyat, yang ditugaskan memegang pimpinan pemerintahan untuk mewujudkan ketentraman dan keselamatan yang dicita-citakan oleh rakyat. Sebagai instansi yang tertinggi dalam Negara, maka di bawah dan di sampingnya bekerja badan-badan lain yang menjalankan pekerjaan pemerintahan.[9] Kepemimpinan yang kuat (teladan), dalam mengambil keputusan yang cepat dan tepat. Ini bersumberkan pada daya pikir yang kuat dan menguasai situasi.[10]
Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan kepemimpinan. Untuk berbagai usaha dan kegiatannya diperlukan upaya yang terencana dan sistematis dalam melatih dan mempersiapkan pemimpin baru. Oleh karena itu, banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan yang menghasilkan berbagai teori tentang kepemimpinan.
Teori kepemimpinan merupakan pen-generalisasian suatu seri perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinannya, dengan menonjolkan latar belakang historis, sebab-sebab timbulnya kepmimpinan, persyaratan pemimpin, sifat utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya serta etika profesi kepemimpinan.[11]
Ada beberapa sebab seseorang menjadi pemimpin, antara lain:
1.      Seseorang ditakdirkan lahir untuk menjadi pemimpin.
Seseorang menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri
2.      Seseorang menjadi pemimpin bila sejak lahir ia memiliki bakat kepemimpinan kemudian dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman serta sesuai dengan tuntutan lingkungan
Kepemimpinan, tentu tidak hanya mereduksi persoalan pada kemimpinan suatu organisasi dan lembaga an sich tetapi mencakup berbagai sector yang mempunyai imbas pada masayarakat. Termasuk juga didalamnya para pemimpin dan kepimimpinan dalam konteks agama (islam).
Sebenarnya waktu itu, islam juga mempunyai fungsi integrative yang sangat besar dengan beberapa alasan. Pertama, Islam bertumpu kepada kebudayaan melayu. Bertumpu dalam arti, Islam merupakan agama orang pesisir dari seluruh Indonesia dan dibanding dengan kebudayaan Jawa yang feodal Islam lebih mewakili kebudayaan melayu dan pedagang. Kedua, Islam mempunyai keuntungan politik, karena yang menjadi penguasa yang penjajah dan yang dianggap sebagai penyebab segala malapetaka waktu itu adalah dikenal sebagai penguasa “Kristen”. Sehingga Islam dapat memunculkan perlawanan terhadap kekuasaan Kristen. Islam memberi dasar bagi munculnya kekuatan anti colonial dan di situ fungsi integratifnya sangat besar. Apa yang dilakukan Islam baik di Indonesia, melayu atau Negara-negara di Asia lain, sama dengan kasus Hindu ketika memberikan dasar-dasar bagi nasionalisme India dalam melawan kolonialisme Inggris. Begitu pula agama Shinto di Jepang ketika melawan Barat dan juga Konghuchu di China, Budhisme di Burma dan Kristen di Filipina. Agama-agama di Asia pada waktu itu menjalankan suatu peranan integrative dalam menghidupkan kesadaran nasionalisme anti asing.[12]
Uraian di atas, sebagai fakta bahwa ketidakadilan selalu diberangus dengan menggunakan istrumen agama sebagai kekuatan ideologis utama dalam menggerakan masyarakat. Kepemimpinan dan agama adalah dua variable yang melakukan upaya untuk menegakan keadilan. Keadilan mencakup semua nilai. Sejak revolusi Inggris dan Prancis sampai pada revolusi yang terjadi di Uni Soviet. Hal ini tanpa kita lupakan terhadap yang disebut sebagai revolusi Islam disebabkan oleh Khumaini dan kelompok mullah di Iran.[13]
Hikmah yang perlu disampaikan dari semua itu adalah bahwa karena manusia itu dalam kesendiriannya tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, maka kelangsungan hidupnya akan mustahil atau sulit, walaupun hanya untuk sebentar. Yang pertama dibutuhkan adalah sesuatu yang dapat menutupinya dan sesuatu yang dapat dimakan. Dia tidak akan mendapat pakaian yang siap pakai, atau makanan yang siap disantap, seperti halnya yang terjadi pada binatang. Sebaliknya dia terpaksa harus membuatnya. Pembuatan ini memerlukan alat, yang juga tidak dapat tersedia begitu saja. Jadi, seorang manusia tidak memiliki sarana untuk menyediakan seluruh yang dia butuhkan bagi kehidupan yang berarti sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali saling berbagi dan bekerjasama. Oleh karena itulah, Tuhan menentukan sebuah tugas bagi setiap kelompok, sekaligus kondisi yang membuat mereka tidak akan cocok untuk mengerjakan pekerjaan lain. Dengan cara ini, manusia membagi pekerjaan dikalangan mereka sendiri. Masing-masing mengambil sebuah kategori pekerjaan dan mnegerjakannya dengan penuh semangat. Sesuai dengan firman Allah, Namum mereka (umat manusia) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka masing-masing (QS. Al-mu’minun:53).[14]





[1] KH. MA. Sahal Mahfudh. Nuansa Fiqih Sosial. LKiS Yogyakarta. 2003
[2]  P. Crone, “The Tribe and the State” dalam state in history, ed.J.A.Hall Oxford, 1986. dalam Masyarakat Egaliter Visi Islam. Louise Marlow. Mizan.1999
[3] Al-Qur’an dan terjemahnya. Depag. 1989
[4] Al-Bukhari, shahih al-bukhari, Sulaiman Mar’ie, Singapore, tth i/248
[5]  M. Imam Aziz dkk. Agama, Demokrasi dan Keadilan. Gramedia Pustaka Utama.1999
[6]  D. Hendropuspito OC. Sosiologi Agama. Kanisius. 1983
[7]   Ibid
[8]   H.A. Djazuli. Fiqh Jinayah (upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam). Raja Grafindo Persada. 1996
[9]   H. Zainal Abidin Ahamad. Membangun Negara Islam. Pustaka Iqra. 2001
[10]  H. Samiun Tamimi BA. Leadership Rasulullah saw dalam Kemiliteran. Baru. 1973
[11]  Kartini Kartono, 1994: 27
[12]  M. Imam Aziz dkk. Agama, Demokrasi dan Keadilan. Gramedia Pustaka Utama.1999
[13]  Muhammed Arkoun. Membongkar Wacana Hegemonik. Al-Fikr. 1999
[14]  Louise Marlow. Masyarakat Egaliter visi Islam. Mizan. 1999

0 komentar:

Posting Komentar