Oleh: hendriycole
Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Ajaran Islam atau lebih khusus syari’at Islam, mempunyai
titik singgung yang sangat kompleks dengan masalah-masalah social. Karena,
syari’at Islam itu sendiri justru mengatur hubungan antara manusia (individual
maupun kelompok) dengan Allah swt, antara sesama manusia dengan alam lingkungannya.
Hubungan pertama terumuskan dalam bentuk ibadah (baik
individual maupun social). Ineteraksi kedua terumuskan dalam bentuk muamalah
dan mu’asyarah. Prinsip muamalah dalam Islam, tidak menitikberatkan pada
penguasaan mutlak bagi kelompok atas pemilikan alam, sehingga meniadakan
penguasaan individual, sebagaimana paham sosialisme. Ia juga tidak
menitikberatkan pengauasaan bagi individu secara mutlak yang cenderung pada
sikap monopoli tanpa memiliki concern (kepedulian) terhadap yang lain,
sebagaimana dalam kapitalisme.
Akan tetapi, Islam menghargai hak penguasaan individual yang
diimbangi dengan kewajiban dan tanggung jawab kelompok. Pembuktian prinsip ini
bisa dilihat pada berbagai hal, antara lain berlakunya hukum waris, zakat,
nafkah, larangan judi, larangan menimbun barang kebutuhan pokok sehari-hari,
dan lain-lain.
Sedangkan prinsip mu’asyarah dalam Islam dapat dilihat dalam
berbagai dimensi kepentingan dan struktur social. Dalam kepentingan kemasyarakatan
umum, kaum muslimin dituntut oleh ajaran
Islam sendiri agar bekerjasama dengan penuh tasamuh (toleransi) dengan
pihak-pihak diluar Islam. Sedangkan antara kaum muslimin sendiri, Islam telah
mengatur hubungan interaksinya dalam kerangka ukhuwah Islamiyah bagi segala
bentuk sikap dan perilaku kegiatan sehari-hari.
Dari sisi struktur social yang menyangkut stratifikasi
social, bisa dilihat bagaimana ajaran Islam mengatur interaksinya, misalnya,
hubungan lingkar balik antara ulama, umara’ aghniya’, dan kelompom
fuqara’. Pendek kata, dalam Islam terdapat aturan terinci mengenai mu’asyarah
antara berbagai kelompok social dengan berbagai status masing-masing.[1]
Pandangan yang telah umum ini
digambarkan secara lengkap dalam pemikiran Ikhwan Al-Shafa. Menurut
kelompok ikhwan, stratifikasi social itu telah ditentukan oleh Tuhan.
Mereka berpandangan bahwa alam ini memang sengaja hierarkis. Mereka juga
menerima begitu saja kategori khashsh dan ‘amm serta tingkatan
yang begitu banyak. Mereka mengganggap bahwa salah satu karakteristik kenabian
adalah untuk menegakan hukum bagi kaum elit, masyarakat umum, dan seluruh
tingkatan masyarakat yang berada diantara keduanya. Para penguasa yang
merupakan pengganti dan wakil para nabi, bertanggung jawab untuk menegakan
aturan dan hierarki yang diberlakukan oleh para pendahulunya. Tugas merekalah
untuk membagi rakyatnya menjadi beberapa kategori, strata, tataran, dan
peringkat sehingga setap individu ditempatkan ke dalam keompok yang sesuai,
sebagaimana halnya setiap bilangan memiliki tempat yang tidak dapat diubah
dalam sebuah aturan yang tetap.[2]
Tuhan,
secara absolute telah menyampaikan pesan suci-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat
(49):
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah adalah orang yang paling bertaqwa”.[3]
Dalam
artinya yang sederhana penulis berpendapat, manusia secara “sacral”
adalah sebagai makhluk individu, tetapi dari aspek “profane”, manusia
merupakan makhluk social. Yang keduanya mempunyai korelasi yang tidak bisa
dipisahkan. Sebab, masing-masing dari kedua aspek tersebut mempunyai
konsekuensi logis.
Arti
Penting Keadilan dan Masyarakat
Pada hari kiamat nanti ada tujuh manusia yang akan mendapat
perlindungan Allah, dimana pada hari itu tidak ada perlindungan lain , kecuali
perlindungan Allah. Tujuh jenis manusia itu adalah imam yang adil pemuda yang
rajin beribadah, orang yang selalu ingin datang ke masijd, dua orang yang akrab
bergaul di mana motivasi mereka hanyalah untuk memperoleh ridha Allah, orang
yang berdzikir kepada Allah, pada saat yang sunyi sampai air matanya membasahi
pipinya, lelaki yang diajak kencan (berselingkuh) oleh seorang wanita yang
cantik lagi popular tetapi ia tidak mau karena takut kepada Allah, dan orang
yang bersedekah dengan merahasiakan sedekahnya sampai apa yang diberikan oleh
tangan kanannya tidak diketahui oleh tangan kirinya.[4]
Barangkali,
tujuh jenis manusia itu termasuk makhluk langka atau sulit ditemukan, apalagi
untuk masa-masa sekarang ini. Diantara tujuh manusia itu adalah imam atau
penguasa yang adil, yang dalam istilah agama sering juga disebut amir,
hakim, wali, sulthan, dan lain-lain. Dalam bahasa kita sehari-hari hal itu
lazim disebut penguasa, pemimpin kepala Negara, raja atau presiden. Maka untuk
mengenali mana seorang penguasa dapat disebut sebagai imam yang adil, perlu
kiranya dikenali lebih dahulu tanda-tanda atau kriterianya sehingga dapat
diketahui potret penguasa yang adil secara lengkap. Criteria tersebut adalah: menerapkan
hukum Allah, berpihak pada kaum lemah, zuhud dalam masalah dunia, pelayan
masyarakat, demi kepentingan ummat, dan lain sebagainya.
Agama dapat dilihat dalam dua
kategori. Pertama, sebagai keimanan, di mana orang percaya terhadap kehidupan
kekal dikemudian hari, lalu orang mengabdikan dirinya untuk kepercayaannya itu.
Di sini agama dilihat sebagai masalah teologi. Kedua, dalam terminology ilmu
social, agama dilihat sebagai nilai-nilai yang mempengaruhi perilaku manusia.
Dalam hal ini, dia bisa disamakan dengan kebudayaan.
Dari sudut ilmu social agama memang
dipandang sebagai salah satu lembaga yang paling kuat untuk mempengaruhi
perilaku masyarakat kita, sama halnya, misalnya, dengan nilai-nilai budaya
Jawa. Di Indonesia peran agama masih sangat penting. Dengan demikian, pengaruh
pemimpin-pemimpin agama untuk menentukan arah tingkah laku manusia pun penting.[5]
Pemahaman mengenai fungsi agama tidak dapat dilepas dari
tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dan masyarakatnya. Berdasarkan
pengalaman dan pengamatan analitis dapat disimmpulkan bahwa tantangan-tantangan
yang dihadapi manusia dikembalikan pada tiga hal: ketidak pastian, ketidak
mampuan, dan kelangkaan. Untuk mengatasi itu semua manusia lari pada agama,
karena manusia percaya dengan keyakinan yang kuat bahwa agama memiliki
kesanggupan yang definitive dalam menolong manusia. Dengan kata lain, manusia
memberikan suatu fungsi tertentu kepada agama.
Fungsi edukatif, manusia
mempercayakan fungsi edukatif kepada agama yang mencakup tugas mengajar dan
tugas bimbingan. Lain dari instansi (institusi profane) agama dianggap sanggup
memberikan pengajaran yang otoritatif; bahkan dalam hal-hal yang
“sacral” tidak dapat salah. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantaraan
petugas-petugasnya baik didalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan
(meditasi), pendalaman rohani, dll. Fungsi penyelamatan, tanpa atau
dengan penelitian ilmiah, cukup berdasarkan pengalaman sehari-hari, dapat
dipastikan bahwa setiap manusia
menginginkan keselamatannya baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati.
Usaha untuk mencapai cita-cita tertinggi (instink) itu tidak boleh dipandang
ringan begitu saja. Jaminan untuk itu mereka temukan dalam agama. Terutama
karena agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas
untuk mencapai kebahagiaan yang “terakhir”, yang pencapaiannya mengatasi
kemampuan manusia secara mutlak, karena kebahagiaan itu berada diluar batas
kekuatan manusia (breaking points). Orang berpendapat bahwa hanya manusia
agama (homo religious) dapat mencapai titik itu, entah itu manusia
yang hidup dalam masyarakat primitive, entah dalam masyarakat modern.[6]
Dalam abad sekuler ini banyak
pemeluk agama diliputi rasa cemas mendengar pernyataan-pernyataan seperti
“matinya tuhan Allah”, dan “Agama akan punah”, atau “agama akan masuk museum”.
Lalu akan lahir suatu amsyarakat sekuler yang bersih dari segala unsur
keagamaan. Ramalan senada diucapkan oleh Comte. Bapak dari sosiologi
modern ini melihat agama, dengan sudut pandang yang baru yakni positivisme,
sebagai konstruksi pemikiran manusia mengenai perlunya menghubungkan dunia yang
mengatasi alam dengan dunia empiris ini untuk memuaskan kebutuhan manusia yang
hidup dalam tahap pemikiran tertentu (tahap teologis). Tetapi hukum pemikiran
itu sendiri yang berjalan dalam tiga tahap (tahap telogis, metafisik, dan
posistif) akan membawa agama ke dalam suatu zaman (tahap positivisme) di mana
manusia secara radikal tidak membutuhkannya lagi. Dalam situasi demikian itu
agama akan lenyap dari masyarakat. Comte sendiri telah mulai merealisasikan
gagasannya itu dengan mengganti kebaktian kepada Tuhan dengan pengabdian kepada
masyarakat.[7]
Kepemimpinan Untuk Menegakan Keadilan
Dunia ini selalu diubah hanya oleh pemimpin,
tidak pernah oleh ketua, manajer,
apalagi oleh kepala
Kejahatan ada di dunia ini bersama-sama dengan adanya
manusia. Kehendak untuk berbuat jahat inheren dalam kehidupan manusia. Di sisi
lain manusia ingin hidup secara tentram, tertib, damai, dan berkeadilan.
Artinya, tidak diganggu oleh perbuatan jahat. Upaya-upaya manusia untuk
menyedikitkan kejahatan telah dilakukan, baik yang bersifat preventif maupun
represif.[8]
Dalam islam pemimpin mempunyai beberapa istilah seperti imam
dan khalifah. Khalifah memiliki kedudukan tertinggi dalam Negara Islam. Ia
merupakan wakil rakyat, yang ditugaskan memegang pimpinan pemerintahan untuk
mewujudkan ketentraman dan keselamatan yang dicita-citakan oleh rakyat. Sebagai
instansi yang tertinggi dalam Negara, maka di bawah dan di sampingnya bekerja
badan-badan lain yang menjalankan pekerjaan pemerintahan.[9]
Kepemimpinan yang kuat (teladan), dalam mengambil keputusan yang cepat dan
tepat. Ini bersumberkan pada daya pikir yang kuat dan menguasai situasi.[10]
Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan
kepemimpinan. Untuk berbagai usaha dan kegiatannya diperlukan upaya yang
terencana dan sistematis dalam melatih dan mempersiapkan pemimpin baru. Oleh
karena itu, banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari masalah
pemimpin dan kepemimpinan yang menghasilkan berbagai teori tentang
kepemimpinan.
Teori kepemimpinan merupakan pen-generalisasian suatu seri
perilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinannya, dengan menonjolkan latar
belakang historis, sebab-sebab timbulnya kepmimpinan, persyaratan pemimpin,
sifat utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya serta etika profesi kepemimpinan.[11]
Ada beberapa sebab seseorang menjadi pemimpin, antara
lain:
1.
Seseorang
ditakdirkan lahir untuk menjadi pemimpin.
Seseorang menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri
Seseorang menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri
2.
Seseorang menjadi
pemimpin bila sejak lahir ia memiliki bakat kepemimpinan kemudian dikembangkan
melalui pendidikan dan pengalaman serta sesuai dengan tuntutan lingkungan
Kepemimpinan, tentu tidak hanya mereduksi persoalan pada
kemimpinan suatu organisasi dan lembaga an sich tetapi mencakup berbagai
sector yang mempunyai imbas pada masayarakat. Termasuk juga didalamnya para
pemimpin dan kepimimpinan dalam konteks agama (islam).
Sebenarnya waktu itu, islam juga mempunyai fungsi
integrative yang sangat besar dengan beberapa alasan. Pertama, Islam bertumpu
kepada kebudayaan melayu. Bertumpu dalam arti, Islam merupakan agama orang
pesisir dari seluruh Indonesia dan dibanding dengan kebudayaan Jawa yang feodal
Islam lebih mewakili kebudayaan melayu dan pedagang. Kedua, Islam mempunyai
keuntungan politik, karena yang menjadi penguasa yang penjajah dan yang
dianggap sebagai penyebab segala malapetaka waktu itu adalah dikenal sebagai
penguasa “Kristen”. Sehingga Islam dapat memunculkan perlawanan terhadap
kekuasaan Kristen. Islam memberi dasar bagi munculnya kekuatan anti colonial
dan di situ fungsi integratifnya sangat besar. Apa yang dilakukan Islam baik di
Indonesia, melayu atau Negara-negara di Asia lain, sama dengan kasus Hindu
ketika memberikan dasar-dasar bagi nasionalisme India dalam melawan
kolonialisme Inggris. Begitu pula agama Shinto di Jepang ketika melawan Barat
dan juga Konghuchu di China, Budhisme di Burma dan Kristen di Filipina. Agama-agama di Asia pada waktu itu menjalankan suatu peranan
integrative dalam menghidupkan kesadaran nasionalisme anti asing.[12]
Uraian di atas, sebagai fakta bahwa ketidakadilan selalu
diberangus dengan menggunakan istrumen agama sebagai kekuatan ideologis utama
dalam menggerakan masyarakat. Kepemimpinan dan agama adalah dua variable yang
melakukan upaya untuk menegakan keadilan. Keadilan mencakup semua nilai. Sejak revolusi Inggris dan
Prancis sampai pada revolusi yang terjadi di Uni Soviet. Hal ini tanpa kita
lupakan terhadap yang disebut sebagai revolusi Islam disebabkan oleh Khumaini
dan kelompok mullah di Iran.[13]
Hikmah yang perlu disampaikan dari semua itu adalah bahwa
karena manusia itu dalam kesendiriannya tidak dapat memenuhi kebutuhannya
sendiri, maka kelangsungan hidupnya akan mustahil atau sulit, walaupun hanya
untuk sebentar. Yang pertama dibutuhkan adalah sesuatu yang dapat menutupinya
dan sesuatu yang dapat dimakan. Dia tidak akan mendapat pakaian yang siap
pakai, atau makanan yang siap disantap, seperti halnya yang terjadi pada
binatang. Sebaliknya dia terpaksa harus membuatnya. Pembuatan ini memerlukan
alat, yang juga tidak dapat tersedia begitu saja. Jadi, seorang manusia tidak
memiliki sarana untuk menyediakan seluruh yang dia butuhkan bagi kehidupan yang
berarti sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali saling berbagi dan
bekerjasama. Oleh karena itulah, Tuhan menentukan sebuah tugas bagi setiap
kelompok, sekaligus kondisi yang membuat mereka tidak akan cocok untuk
mengerjakan pekerjaan lain. Dengan cara ini, manusia membagi pekerjaan
dikalangan mereka sendiri. Masing-masing mengambil sebuah kategori pekerjaan
dan mnegerjakannya dengan penuh semangat. Sesuai
dengan firman Allah, Namum mereka (umat manusia) menjadikan agama mereka
terpecah belah menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan bangga dengan apa
yang ada pada sisi mereka masing-masing (QS. Al-mu’minun:53).[14]
[1] KH. MA. Sahal Mahfudh. Nuansa Fiqih Sosial. LKiS
Yogyakarta. 2003
[2] P. Crone, “The
Tribe and the State” dalam state in history, ed.J.A.Hall Oxford,
1986. dalam Masyarakat Egaliter Visi Islam. Louise Marlow. Mizan.1999
[3] Al-Qur’an dan terjemahnya. Depag. 1989
[4] Al-Bukhari, shahih al-bukhari, Sulaiman Mar’ie,
Singapore, tth i/248
[5] M. Imam Aziz dkk. Agama,
Demokrasi dan Keadilan. Gramedia Pustaka Utama.1999
[6] D. Hendropuspito OC.
Sosiologi Agama. Kanisius. 1983
[7] Ibid
[8] H.A. Djazuli. Fiqh
Jinayah (upaya menanggulangi Kejahatan dalam Islam). Raja Grafindo Persada.
1996
[9] H. Zainal Abidin Ahamad. Membangun Negara
Islam. Pustaka Iqra. 2001
[10] H. Samiun Tamimi BA.
Leadership Rasulullah saw dalam Kemiliteran. Baru. 1973
[11] Kartini Kartono,
1994: 27
[12] M. Imam Aziz dkk. Agama,
Demokrasi dan Keadilan. Gramedia Pustaka Utama.1999
0 komentar:
Posting Komentar