Sabtu, 13 Juli 2013

MASALAH GENDER DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA



Oleh : Nieke MS
   Definisi ‘diskriminasi’ menurut ps. 1 (3) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
   Sesuai dengan Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, diskriminasi terhadap wanita pada pasal 1 adalah setiap pembedaan, pengesampingan atau pelarangan apa pun yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai akibat atau tujuan mengurangi atau meniadakan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan oleh wanita, dengan mengabaikan status perkawinan mereka, atas suatu dasar persamaan pria dan wanita, akan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lain apapun.
   Membahas masalah hak wanita (selanjutnya disebut perempuan) tanpa membahas peran gender ibarat memasak sayur tanpa garam. Perempuan sebagai kaum yang unik diberikan jaminan perlindungan hak secara tersendiri.
Meski demikian, posisi hak mereka masih juga rentan terhadap berbagai pelanggaran. Dalam berbagai aspek kehidupan, kaum perempuan belum dapat meraih hak-hak nya secara nyata. Kesetaraan antara kaum perempuan dengan laki-laki adalah suatu perjuangan yang cukup panjang dan hingga kini masih terus diperjuangkan.
  Berbeda dengan kaum laki-laki yang sejak beberapa abad lalu telah memperoleh pengakuan hukum secara penuh atas peran-perannya dalam masyarakat. Sementara itu, kaum perempuan masih termarginalisasi dengan berbagai argumen yang cenderung terstruktur dan bahkan sulit untuk diakui. Hal ini mudah dapat dilihat dari prosentase kaum perempuan sebagai anggota DPR, kabinet, maupun di berbagai sektor lainnya. Secara teoritis prinsip kesetaraan telah dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya, namun implementasinya relatif tidak mudah mengingat faktor-faktor budaya yang bersifat paternalistik, agama, maupun tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. 

Pengertian Sex dan Gender

   Apabila dicermati, sex pada umumnya merujuk pada identifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi seperti komposisi hormonal, anatomi fisik, reproduksi, karakteristik biologis, dst. Demikian pula ketika mengidentifikasi seorang bayi yang baru lahir pada umumnya dibedakan dari cirri-ciri biologisnya. Bahkan dalam kamus besar bahasa Indonesia dinyatakan bahwa sex adalah jenis kelamin.
   Dalam Webster’s New World Dictionary, gender berarti perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.
Merujuk pada Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep cultural yang berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Ada pula berkembang pengertian bahwa konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural.
   Sejarah perbedaan gender antara kaum laki-laki dan perempuan terjadi melalui suatu proses panjang seperti dibentuk, disosialisasikan, diperkuat dan bahkan dikonstruksi secara sosio cultural melalui ajaran agama maupun negara. Studi tentang gender lebih menekankan pada perkembangan aspek maskulinitas atau feminitas, namun studi tentang sex lebih menekankan pada perkembangan aspek biologis.  

Perspektif Teori Gender

   Ada beberapa teori yang dikenal dan dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan latar belakang perbedaan dan persamaan peran gender yaitu: Teori Psiko-analisis. Perbedaan gender ditentukan oleh faktor psikologis berdasarkan ajaran 5 tahapan psikoseksual Sigmund Freud (oral stage, anal stage, phallic stage, talency stage, genital stage).
   Teori Struktural Fungsional. Stabilitas dalam masyarakat terbentuk akibat adanya system kehidupan yang terintegrasi. Laki-laki dan perempuan, masing-masing menjalankan peran sesuai fungsinya. Teori Konflik, ditandai adanya situasi basis ekonomi yang tidak adil (ada pihak yang diuntungkan dan ada yang dirugikan) sehingga memicu terjadinya konflik dan perubahan sosial. Kondisi tersebut mengakibatkan munculnya sub ordinasi terhadap perempuan yang disebabkan oleh pertumbuhan hak milik pribadi. Teori Feminis. Ditandai adanya semangat mendengungkan kemitraan sejajar antara laki-laki dan perempuan serta agar meninjau kembali system patriarchi. Kaum perempuan meyakini bahwa kodrat perempuan ditentukan oleh faktor budaya masyarakat dan bukan oleh faktor biologis. Teori Sosio-Biologis. Ditandai oleh kondisi bahwa fungsi reproduksi perempuan dianggap sebagai penghambat untuk mengimbangi kekuatan dan peran laki-laki. Di sisi lain, aspek sosial dan biologis laki-laki dianggap lebih unggul daripada perempuan.
  Gerakan kaum perempuan secara yuridis formal untuk dapat keluar dari lingkungan domestik telah dimulai sejak tahun 1920-an. Gerakan tersebut berubah menjadi suatu gerakan yang sangat hebat setelah usainya PD I dan II, dimana perempuan banyak berkiprah di bidang medis dan penyediaan makanan. Meskipun upaya tersebut tampak berhasil, namun masih terdapat beberapa aspek yang berpotensi menjadi penghambat perubahan sosial bagi kesetaraan peran laki-laki dan perempuan.  Faktor-faktor tersebut antara lain: Struktur sosial (paham tentang peran domestik, peran ganda, dan peran sosial). Perempuan sebagai kelompok unik (sejauh mana tingkat kesadaran solidaritas terhadap sesama perempuan). Kekuatan mitos (ajaran dan dogma dari agama, budaya, negara) 

Perlindungan Hak Perempuan

  Dalam pembahasan ini diambil studi kasus tentang “migrant workers”. Pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri menjadi pembicaraan hangat ketika terdapat dugaan pelanggaran hak-hak asasi manusia di dalamnya, ataupun pelanggaran hukum terhadap para pekerja itu sendiri. Sementara itu, sumbangan mereka atas devisa negara tidak pernah diungkap secara proporsional oleh berbagai pihak. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya fakta, bahwa sebagian besar dari mereka adalah tenaga kerja di sektor informal ditambah ketiadaan keahlian khusus yang dimilikinya sehingga menjadi terpinggirkan.
   Data sumbangan para “migrant workers” bagi devisa negara yang dicatat oleh Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja DEPNAKER sebagai berikut,
Tahun    1994-1998          USD        3.633.400.000.
Tahun    1999
                   USD        1.787.520.000.
Tahun    2000                   USD        2.037.000.000.
Tahun    2001                   USD        2.482.200.000.
Tahun    2002                   USD        3.078.000.000
  Dengan besarnya sumbangan devisa dari “migrant workers” terhadap negara, maka sudah seharusnya dipikirkan langkah-langkah konkrit perlindungan terhadap mereka. Adalah suatu fakta yang ironis ketika ribuan “migrant workers” diusir dari Malaysia tahun lalu dan terdampar di Entekong, mereka seolah dianggap sebagai masalah dan beban.
  Hal ini sangat berbeda dengan perlakuan pemerintah Filipina terhadap para penghasil devisa dari sector informal tersebut. Presiden Arroyo tidak segan menjemput para “migrant workers” tersebut pada Agustus tahun lalu dan menyambutnya sebagai pahlawan. Bahkan Philippine Overseas Employment Administration (POEA) sangat tegas di dalam memberikan perlindungan terhadap upaya pemerasan terutama yang dilakukan PJTK setempat. Pada tahun 2001 saja, sekurang-kurangnya 497 kasus dibawa ke pengadilan dan beberapa diantaranya ada yang dihukum seumur hidup.
   Hingga saat ini masih banyak permasalahan yang timbul dalam pengiriman “migrant workers” ke luar negeri, sehingga perlu diantisipasi segi kualitas sumber dayanya dibandingkan sekedar mengejar target kuantitas. Permasalahan “migrant workers” asal Indonesia di negara tetangga seperti Malaysia harus dicermati secara bijaksana dengan memperhatikan berbagai aspek secara holistic yang meliputi : permasalahan sebelum pengiriman ke luar negeri. Permasalahan selama bekerja di luar negeri, dan permasalahan sepulang dari luar negeri. 
   Masih tersisa pro-kontra tentang pengiriman “migrant workers” ke luar negeri, namun yang perlu dicermati adalah upaya pembenahan system dari hilir hingga hulu. Depnakertrans harus didukung mitra kerja lain seperti kantor Imigrasi, Deparlu, Dephub, POLRI, PJTKI dan pengguna. Demikian pula upaya peningkatan “competitive advantage” para “migrant workers” asal Indonesia adalah merupakan tantangan tersendiri.  

Hak Perempuan dalam Perundang-undangan

   Masalah gender  dalam  lingkup suatu masyarakat seringkali menempatkan  kaum perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan, baik dari aspek struktur, budaya maupun lingkungan. Beban gender seseorang tergantung pada nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Tentu akan berbeda antara masyarakat yang berfaham patrilinieal dengan yang matrilineal. Perbedaan peran ini ternyata dipengaruhi pula oleh posisi geografis masyarakat itu sendiri dimana memiliki tingkat kesulitan serta perjuangan hidup yang berbeda.
   Sejak tahun 1984, Indonesia telah meratifikasi konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on The Elimination of Discrimination Against Women/CEDAW) dalam UU RI No. 7/1984. Prinsip-prinsip utama yang diatur di dalam konvensi tersebut antara lain: Pasal 1           pengertian diskriminasi terhadap perempuan, Pasal 2        langkah kebijakan untuk menghapus diskriminasi, Pasal 3   jaminan HAM dan kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaaan dengan pria, Pasal 4 peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan, Pasal 5       peraturan tentang jenis kelamin dan stereotype 
  Pada bulan September 1995 telah diadakan konferensi Dunia ke IV tentang Perempuan di Beijing yang menetapkan 12 rumusan sasaran strategis yang harus dicapai yaitu: Perempuan dan kemiskinan, Pendidikan dan pelatihan bagi perempuan, Perempuan dan kesehatan, Kekerasan terhadap perempuan, Perempuan-perempuan dan konflik senjata, Perempuan dan eknomi, Perempuan dalam kedudukan pemegang kekuasaan dan pengambilan keputusan, Mekanisme-mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan, Hak-hak asasi perempuan, Perempuan dan media massa, Perempuan dan lingkungan, Anak-anak perempuan
   Setelah mengulas tentang CEDAW dan hasil konferensi Dunia IV tentang Perempuan, maka sudah sepantasnya jika memperhatikan apa yang diatur di dalam UU No.39/1999 tentang HAM. Secara umum, UU nasional yang diundangkan pada akhir September 1999 ini tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh misalnya pasal 38 (3) menyatakan bahwa ‘Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama’.
   Memperhatikan beberapa keterbatasan yang ada pada UU ini, masalah ‘Hak Wanita’ diatur secara khusus pada Bagian Kesembilan yang meliputi pasal 45 hingga 51 yang meliputi: Hak mengembangkan diri (pendidikan), Hak atas kebebasan pribadi (politik, kewarganegaraan), Hak turut serta dalam pemerintahan (pemilu), Hak atas Kesejahteraan (pekerjaan), Hak perlindungan reproduksi Dalam rangka mengimplementasikan pasal-pasal UU No.39/1999 dengan memperhatikan konvensi CEDAW yang telah diratifikasi dalam UU No.7/1984 tersebut, maka setiap aparat penegak hukum harus memiliki tekad untuk memperhatikan aspek ‘GENDER dan ANAK’ di dalam setiap penanganan kasus pelanggaran hukum.
   Setelah memperhatikan uraian tentang perlindungan hak wanita berdasarkan konvensi CEDAW yang telah diratifikasi dalam UU No.7/1984 dan UU No.39/1999 tentang HAM, maka kita masih memiliki tantangan yang berat. Hal ini akan tampak nyata di dalam merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Upaya-upaya nyata dari kita semua (pemerintah, organisasi non pemerintah, akademisi, dll) harus diteruskan untuk memperkecil pengaruh budaya ataupun pola pikir yang paternalistis. (Penulis, pemerhati masalah gender. berdomisili di Jakarta).



0 komentar:

Posting Komentar