|
Oleh : Nieke MS
Definisi ‘diskriminasi’
menurut ps. 1 (3) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
Sesuai dengan Konvensi tentang Penghapusan
Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, diskriminasi terhadap wanita
pada pasal 1 adalah setiap pembedaan, pengesampingan atau pelarangan apa
pun yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai akibat atau tujuan
mengurangi atau meniadakan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan oleh
wanita, dengan mengabaikan status perkawinan mereka, atas suatu dasar
persamaan pria dan wanita, akan hak-hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan dasar di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil
atau bidang lain apapun.
Membahas masalah hak wanita (selanjutnya
disebut perempuan) tanpa membahas peran gender ibarat memasak sayur tanpa
garam. Perempuan sebagai kaum yang unik diberikan jaminan perlindungan hak
secara tersendiri.
Meski demikian, posisi hak mereka masih juga rentan terhadap
berbagai pelanggaran. Dalam berbagai aspek kehidupan, kaum perempuan belum
dapat meraih hak-hak nya secara nyata. Kesetaraan antara kaum perempuan
dengan laki-laki adalah suatu perjuangan yang cukup panjang dan hingga kini
masih terus diperjuangkan.
Berbeda dengan kaum laki-laki yang sejak beberapa
abad lalu telah memperoleh pengakuan hukum secara penuh atas peran-perannya
dalam masyarakat. Sementara itu, kaum perempuan masih termarginalisasi
dengan berbagai argumen yang cenderung terstruktur dan bahkan sulit untuk
diakui. Hal ini mudah dapat dilihat dari prosentase kaum perempuan sebagai
anggota DPR, kabinet, maupun di berbagai sektor lainnya. Secara teoritis
prinsip kesetaraan telah dapat diterima oleh masyarakat pada umumnya, namun
implementasinya relatif tidak mudah mengingat faktor-faktor budaya yang
bersifat paternalistik, agama, maupun tingkat pendidikan dari masyarakat
itu sendiri.
Pengertian Sex dan Gender
Apabila dicermati, sex pada umumnya merujuk
pada identifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi
biologi seperti komposisi hormonal, anatomi fisik, reproduksi,
karakteristik biologis, dst. Demikian pula ketika mengidentifikasi seorang
bayi yang baru lahir pada umumnya dibedakan dari cirri-ciri biologisnya.
Bahkan dalam kamus besar bahasa Indonesia dinyatakan bahwa sex adalah jenis
kelamin.
Dalam Webster’s New World Dictionary,
gender berarti perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat
dari segi nilai dan tingkah laku.
Merujuk pada Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan
bahwa gender adalah konsep cultural yang berupaya membuat perbedaan dalam
hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Ada pula
berkembang pengertian bahwa konsep gender adalah sifat yang melekat pada
kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
cultural.
Sejarah perbedaan gender antara kaum laki-laki
dan perempuan terjadi melalui suatu proses panjang seperti dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat dan bahkan dikonstruksi secara sosio cultural
melalui ajaran agama maupun negara. Studi tentang gender lebih menekankan
pada perkembangan aspek maskulinitas atau feminitas, namun studi tentang
sex lebih menekankan pada perkembangan aspek biologis.
Perspektif Teori Gender
Ada beberapa teori yang dikenal dan dapat
dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan latar belakang perbedaan dan
persamaan peran gender yaitu: Teori Psiko-analisis. Perbedaan gender
ditentukan oleh faktor psikologis berdasarkan ajaran 5 tahapan psikoseksual
Sigmund Freud (oral stage, anal stage, phallic stage, talency stage,
genital stage).
Teori Struktural Fungsional. Stabilitas
dalam masyarakat terbentuk akibat adanya system kehidupan yang
terintegrasi. Laki-laki dan perempuan, masing-masing menjalankan peran
sesuai fungsinya. Teori Konflik, ditandai adanya situasi basis
ekonomi yang tidak adil (ada pihak yang diuntungkan dan ada yang dirugikan)
sehingga memicu terjadinya konflik dan perubahan sosial. Kondisi tersebut
mengakibatkan munculnya sub ordinasi terhadap perempuan yang disebabkan
oleh pertumbuhan hak milik pribadi. Teori Feminis. Ditandai adanya
semangat mendengungkan kemitraan sejajar antara laki-laki dan perempuan
serta agar meninjau kembali system patriarchi. Kaum perempuan meyakini
bahwa kodrat perempuan ditentukan oleh faktor budaya masyarakat dan bukan
oleh faktor biologis. Teori Sosio-Biologis. Ditandai oleh kondisi
bahwa fungsi reproduksi perempuan dianggap sebagai penghambat untuk
mengimbangi kekuatan dan peran laki-laki. Di sisi lain, aspek sosial dan
biologis laki-laki dianggap lebih unggul daripada perempuan.
Gerakan kaum perempuan secara yuridis formal untuk
dapat keluar dari lingkungan domestik telah dimulai sejak tahun 1920-an.
Gerakan tersebut berubah menjadi suatu gerakan yang sangat hebat setelah
usainya PD I dan II, dimana perempuan banyak berkiprah di bidang medis dan
penyediaan makanan. Meskipun upaya tersebut tampak berhasil, namun masih
terdapat beberapa aspek yang berpotensi menjadi penghambat perubahan sosial
bagi kesetaraan peran laki-laki dan perempuan. Faktor-faktor tersebut
antara lain: Struktur sosial (paham tentang peran domestik, peran ganda,
dan peran sosial). Perempuan sebagai kelompok unik (sejauh mana tingkat
kesadaran solidaritas terhadap sesama perempuan). Kekuatan mitos (ajaran
dan dogma dari agama, budaya, negara)
Perlindungan Hak Perempuan
Dalam
pembahasan ini diambil studi kasus tentang “migrant workers”. Pengiriman
tenaga kerja Indonesia ke luar negeri menjadi pembicaraan hangat ketika
terdapat dugaan pelanggaran hak-hak asasi manusia di dalamnya, ataupun
pelanggaran hukum terhadap para pekerja itu sendiri. Sementara itu,
sumbangan mereka atas devisa negara tidak pernah diungkap secara
proporsional oleh berbagai pihak. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya
fakta, bahwa sebagian besar dari mereka adalah tenaga kerja di sektor
informal ditambah ketiadaan keahlian khusus yang dimilikinya sehingga
menjadi terpinggirkan.
Data sumbangan para “migrant workers” bagi devisa negara yang dicatat oleh
Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja DEPNAKER sebagai
berikut,
Tahun
1994-1998 USD 3.633.400.000.
Tahun 1999
USD
1.787.520.000.
Tahun
2000
USD 2.037.000.000.
Tahun
2001
USD 2.482.200.000.
Tahun
2002
USD 3.078.000.000
Dengan besarnya sumbangan devisa dari “migrant
workers” terhadap negara, maka sudah seharusnya dipikirkan langkah-langkah
konkrit perlindungan terhadap mereka. Adalah suatu fakta yang ironis ketika
ribuan “migrant workers” diusir dari Malaysia tahun lalu dan terdampar di
Entekong, mereka seolah dianggap sebagai masalah dan beban.
Hal ini sangat berbeda dengan perlakuan pemerintah
Filipina terhadap para penghasil devisa dari sector informal tersebut.
Presiden Arroyo tidak segan menjemput para “migrant workers” tersebut pada
Agustus tahun lalu dan menyambutnya sebagai pahlawan. Bahkan Philippine
Overseas Employment Administration (POEA) sangat tegas di dalam memberikan
perlindungan terhadap upaya pemerasan terutama yang dilakukan PJTK
setempat. Pada tahun 2001 saja, sekurang-kurangnya 497 kasus dibawa ke
pengadilan dan beberapa diantaranya ada yang dihukum seumur hidup.
Hingga saat ini masih banyak permasalahan yang
timbul dalam pengiriman “migrant workers” ke luar negeri, sehingga perlu
diantisipasi segi kualitas sumber dayanya dibandingkan sekedar mengejar
target kuantitas. Permasalahan “migrant workers” asal Indonesia di negara
tetangga seperti Malaysia harus dicermati secara bijaksana dengan
memperhatikan berbagai aspek secara holistic yang meliputi : permasalahan
sebelum pengiriman ke luar negeri. Permasalahan selama bekerja di luar
negeri, dan permasalahan sepulang dari luar negeri.
Masih tersisa pro-kontra tentang pengiriman
“migrant workers” ke luar negeri, namun yang perlu dicermati adalah upaya
pembenahan system dari hilir hingga hulu. Depnakertrans harus didukung
mitra kerja lain seperti kantor Imigrasi, Deparlu, Dephub, POLRI, PJTKI dan
pengguna. Demikian pula upaya peningkatan “competitive advantage” para
“migrant workers” asal Indonesia adalah merupakan tantangan tersendiri.
Hak Perempuan dalam
Perundang-undangan
Masalah gender dalam lingkup suatu
masyarakat seringkali menempatkan kaum perempuan pada posisi yang
tidak menguntungkan, baik dari aspek struktur, budaya maupun lingkungan.
Beban gender seseorang tergantung pada nilai-nilai budaya yang berkembang
dalam masyarakat itu sendiri. Tentu akan berbeda antara masyarakat yang
berfaham patrilinieal dengan yang matrilineal. Perbedaan peran ini ternyata
dipengaruhi pula oleh posisi geografis masyarakat itu sendiri dimana
memiliki tingkat kesulitan serta perjuangan hidup yang berbeda.
Sejak tahun 1984, Indonesia telah meratifikasi
konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(The Convention on The Elimination of Discrimination Against
Women/CEDAW) dalam UU RI No. 7/1984. Prinsip-prinsip
utama yang diatur di dalam konvensi tersebut antara lain: Pasal 1
pengertian
diskriminasi terhadap perempuan, Pasal
2 langkah kebijakan untuk
menghapus diskriminasi, Pasal 3 jaminan HAM dan
kebebasan-kebebasan pokok atas dasar persamaaan dengan pria, Pasal 4
peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan, Pasal
5 peraturan tentang jenis kelamin dan
stereotype
Pada
bulan September 1995 telah diadakan konferensi Dunia ke IV tentang
Perempuan di Beijing yang menetapkan 12 rumusan sasaran strategis yang harus
dicapai yaitu: Perempuan dan kemiskinan, Pendidikan dan pelatihan bagi
perempuan, Perempuan dan kesehatan, Kekerasan terhadap perempuan,
Perempuan-perempuan dan konflik senjata, Perempuan dan eknomi, Perempuan
dalam kedudukan pemegang kekuasaan dan pengambilan keputusan,
Mekanisme-mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan, Hak-hak asasi
perempuan, Perempuan dan media massa, Perempuan dan lingkungan, Anak-anak
perempuan
Setelah mengulas tentang CEDAW dan hasil
konferensi Dunia IV tentang Perempuan, maka sudah sepantasnya jika
memperhatikan apa yang diatur di dalam UU No.39/1999 tentang HAM. Secara
umum, UU nasional yang diundangkan pada akhir September 1999 ini tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh misalnya
pasal 38 (3) menyatakan bahwa ‘Setiap orang, baik pria maupun
wanita yang melakukan pekerjaan yang sama, sebanding, setara
atau serupa, berhak atas upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang
sama’.
Memperhatikan beberapa keterbatasan yang ada
pada UU ini, masalah ‘Hak Wanita’ diatur secara khusus pada Bagian
Kesembilan yang meliputi pasal 45 hingga 51 yang meliputi: Hak
mengembangkan diri (pendidikan), Hak atas kebebasan pribadi (politik,
kewarganegaraan), Hak turut serta dalam pemerintahan (pemilu), Hak atas Kesejahteraan
(pekerjaan), Hak perlindungan reproduksi Dalam rangka mengimplementasikan
pasal-pasal UU No.39/1999 dengan memperhatikan konvensi CEDAW yang telah
diratifikasi dalam UU No.7/1984 tersebut, maka setiap aparat penegak hukum
harus memiliki tekad untuk memperhatikan aspek ‘GENDER dan ANAK’ di
dalam setiap penanganan kasus pelanggaran hukum.
Setelah memperhatikan uraian tentang
perlindungan hak wanita berdasarkan konvensi CEDAW yang telah diratifikasi
dalam UU No.7/1984 dan UU No.39/1999 tentang HAM, maka kita masih memiliki
tantangan yang berat. Hal ini akan tampak nyata di dalam merealisasikannya
dalam kehidupan sehari-hari. Upaya-upaya nyata dari kita semua (pemerintah,
organisasi non pemerintah, akademisi, dll) harus diteruskan untuk memperkecil
pengaruh budaya ataupun pola pikir yang paternalistis. (Penulis,
pemerhati masalah gender. berdomisili di Jakarta).
|
0 komentar:
Posting Komentar